LGBTQ di Gereja: Bagaimana Sikap Umat Kristiani?

LGBTQ

Keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ) di Indonesia masih dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual. Agama-agama di Indonesia secara umum tidak membenarkan perilaku LGBTQ, karena tidak sesuai dengan norma-norma agama.

Keberadaan LGBTQ di Indonesia sendiri tidaklah ditolak, tetapi perilaku mereka tidak dapat dibenarkan sama sekali. Tentu ini dapat menimbulkan masalah selanjutnya, yakni bagaimana sikap dan cara menyelesaikan masalah ini.

Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan sebuah video mengenai seorang Gay yang sedang berkhotbah di Gereja Broadway United Methodist di Orlando, Florida, Amerika Serikat. Video pendek ini saya dapatkan dari akun Instagram “Manado times”.

Sebagai orang Indonesia, Video tersebut cukup mengherankan dan sangat-sangat mengganggu hati dan pikiran saya secara pribadi. Namun, bagi negara-negara Eropa dan sebagian di Amerika, hal semacam ini tampak biasa saja. Karena LGBTQ diterima sah secara hukum.

Penyimpangan orientasi seksual di Indonesia sendiri terus tumbuh dengan subur setiap tahunnya, khususnya di dalam gereja sendiri. Mereka sangat tertutup dan kebanyakan pemimpin rohani tidak memiliki kecakapan untuk menangani kasus seperti ini.

Jika demikian, bagaimana sikap umat Kristiani terhadap LFBTQ di dalam gereja? Pertanyaan ini mengajak kita semua untuk peka dan peduli terhadap persoalan ini, jika hal tersebut ada di dalam gereja.

LGBTQ di Gereja

Ada banyak orang memberi kesan dan komentar bahwa bahwa agama Kristen menerima kelompok LGBTQ sebagai pemimpin rohani di dalam gereja. Pemikiran seperti ini muncul karena mereka melihat satu atau dua kasus yang terjadi di negara-negara Barat.

Pemikiran atau pernyataan seperti ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, karena hanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Biasanya ini bergantung kepada hukum di negara tersebut. Tidak ada gereja yang benar-benar menyatakan bahwa LGBTQ dapat diterima sebagai pemimpin rohani atau menjadi seorang pendeta.

Selain itu, di Indonesia sendiri masalah seperti ini masih sangat baru. Dalam beberapa kasus, terkadang pendeta an gereja sendiri tidak peka terhadap keberadaan LGBTQ di gerejanya. Hal ini dikarenakan mereka yang memiliki penyimpangan orientasi seksual menyembunyikan identitasnya dan sebagian pendeta cenderung sibuk melayani diri sendiri.

Hal ini menyebabkan sebagian gereja tidak siap dan tidak mampu menyelesaikan persoalan ini. Bagaimana sikap kita sebagai jemaat gereja melihat hal ini?

Apakah kita perlu memberantas segala bentuk penyimpangan dan ajaran-ajaran sesat di dalam gereja? Apakah kita juga perlu mengangkat senjata? Jawabannya tentu tidak.

Sikap umat Kristiani terhadap LGBTQ

Mengingat bahwa LGBTQ adalah penyimpangan orientasi seksual yan berlawanan dengan kehendak Allah, maka kita memiliki tanggung jawab untuk mengatasinya.

Menurut Kitab Matius

Tuhan Yesus pernah berkhotbah dan mengajarkan kepada semua orang mengenai inti dari ajaran kekristenan. Demikianlah firman itu: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesama manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu; Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5: 43-44).

Ayat ini menekankan kasih dalam segala aspek kehidupan. Ayat ini berbicara tentang personal dan kelompok, dan bukan berbicara tentang sebuah negara. Sebagai umat kristiani, kita wajib memaafkan dan mengasihi semua orang. Hal ini berbeda dengan negara, karena wajib menegaskan hukum dengan seadil-adilnya.

Oleh sebab itu, kita wajib memaafkan dan mengampuni kesalahan orang lain dan memimpin mereka untuk kembali kepada ajaran yang benar. Selain itu, Roma 12:9 menegaskan bahwa “Pembalasan itu adalah hak-Ku”. Dalam iman Kristen, penyimpangan seksual tidak pernah dibenarkan.

Menurut Kitab Kejadian

Kitab Kejadian menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia hanya dengan dua jenis kelamin saja, yaitu laki-laki dan perempuan (kejadian 1:27). Mereka diciptakan bukan menjadi manusia yang bebas, tetapi harus taat dan bertanggung jawab sepenuhnya atas semua yang mereka lakukan kepada Allah.

Lebih lanjut, kejadian 2:24 menjelaskan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. Hal ini berarti pernikahan yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan atau sebaliknya, perempuan dan laki-laki. Ini adalah hukum dan ketetapan bagi umat Allah, di mulai dari Adam dan Hawa sampai kepada kita saat ini.

Setiap harus menerima keberadaan dirinya, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan. Mengapa demikian? Karena kehadirannya mereka memiliki arti penting bagi dunia ini.

Sebagai laki-laki, mereka adalah wakil Allah dan memiliki tanggung jawab untuk mengelola dunia ini. Sedangkan sebagai seorang wanita, mereka berperan sebagai penolong bagi laki-laki dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada Allah.

Melanggar hukum dan ketetapan dari Allah akan mendatangkan sebuah konsekuensi, yakni hukuman kekal. Oleh sebab itu, umat Kristiani menentang segala penyimpangan orientasi seksual (LGBTQ). Kita tidak pernah menolak keberadaan mereka, tetapi menentang segala praktek dan perbuatan mereka.

Menurut Kitab Korintus

Kitab 1 Korintus 6:9-10 menjelaskan demikian: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”.

Ayat di atas menjelaskan secara tegas mengenai perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan tidak sesuai dengan hukum-hukum Allah.

Segala bentuk penyimpangan tersebut sangat erat hubungannya dengan hawa nafsu dan kesenangan diri sendiri. Mereka tidak mau taat kepada Allah dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Kisah dalam Alkitab mengenai kota Sodom dan Gomora yang dibakar oleh api dan belerang oleh Allah disebabkan oleh perilaku mereka yang melawan Allah. Hal ini sama persis seperti yang dijelaskan dalam 1 Korintus 6:9-10.

Oleh sebab itu, orang-orang tertentu yang memiliki penyimpangan orientasi seksual dan menjadi pemimpin gereja maka ini hanyalah oknum. Secara teologis dan norma, gereja tidak pernah membenarkan hal seperti ini.

Kesimpulan

Kesimpulan mengenai sikap umat Kristiani mengenai LGBTQ menjadi pemimpin rohani atau pendeta di dalam gereja adalah menolak. Dalam peraturan gereja, biasanya orang yang melakukan pelanggaran secara moral atau tindak pidana tidak diperkenankan menjadi seorang gembala atau pendeta.

Mengenai orang-orang yang mengalami penyimpangan seksual, umat Kristiani dan gereja tidak menolak kehadirannya mereka. Namun, kita tidak pernah membenarkan segala perbuatan mereka. Dalam hal ini, hanya Tuhan yang akan menjadi hakim.

Umat Kristiani memiliki tanggung jawab untuk mengasihi, menolong dan mendoakan mereka supaya dapat sadar dan kembali jalan yang benar.

Ingat, pelanggaran terhadap hukum Allah dengan sengaja akan mendatangkan hukuman dan celaka, bahkan hukuman yang kekal. Baca juga penyimpangan gender pada anak.

Related posts