Platonisme dan filsafat Yunani sangat mempengaruhi bapa-bapa Kristen purba, karena mereka berasal dari orang-orang Yunani Romawi atau kafir.
Ketika mereka dihadapkan pada kesulitan maka membawa iman Kristen kepada orang-orang sezamannya dan menghubungkannya dengan pola pikir saat itu, yaitu filsafat Yunani.
Ada tiga aliran filsafat yang sangat mempengaruhi para penulis Kristen pertama: Platonisme yang diprakarsai oleh Plato murid Sokrates (427-347 SM). Selanjutnya ada Aristotelianisme yang di prakarsai oleh Aristoteles (3384-22 SM).
Yang terakhir adalah ajaran Stoa yang di prakarsai oleh Zeno (meninggal pada tahun 263 SM). Ketiganya merupakan kelompok pemikir yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Walaupun mereka berbeda, pada awal kekristenan mereka saling mempengaruhi. Pada abad ke-3, Platonisme telah ditinjau dan dikenal kembali dengan sebutan Neo-Platonisme, mereka adalah Ammonius Sakkas dan Plotinus.
Neo-Platonisme menekankan tentang sifat Allah yang transenden, yakni melebihi batas-batas dunia yang tampak. Pada waktu itu, pandangan ini sementara waktu menjadi ciri pengajaran Kristen yang berkembang sangat cepat pada saat itu.
Platonisme dan Filsafat Yunani
Platinisme dan filsafat Yunani memang sangat berkembang sangat pesat seiring dengan perkembangan kekristenan.
Karya dan kontribusi Plato yang terbesar adalah melalui teori bentuk atau ide (Form. Menurutnya, dunia materi yang kita lihat adalah bayangan tidak sempurna dari dunia bentuk ideal yang tidak tampak atau tidak kelihatan.
Bentuk merupakan entitas abstrak, sempurna, dan kekal yang ada di luar pengalaman fisik dan merupakan realitas sejati.
Misalnya, seperti bentuk dari keadilan, keindahan, dan kebaikan itu ada sebagai entitas ideal yang tidak tergantung pada manifestasi fisik mereka.
filsafat Plato adalah pencarian pengetahuan mengenai bentuk-bentuk ini, karena dengan pengetahuan tersebut maka manusia dapat memahami dan mencapai kebaikan tertinggi.
Dalam karyanya “Republik”, Plato menggambarkan bahwa negara yang ideal tentu dipimpin oleh seorang filsuf-raja.
Menurutnya, hanya mereka yang memahami bentuk-bentuk ideal (terutama bentuk kebaikan) yang dapat memimpin masyarakat dengan bijaksana.
Pengaruh filsafat terhadap kekristenan
Pada masa Kristen banyak dari filsafat Yunani mengembangkan ajaran-ajaran Plato dan Aristoteles sedemikian rupa. Mereka mengajarkan bahwa hanya ada satu Allah Yang Maha tinggi dan transenden.
Monoteisme filsafat ini tentu menjadi titik pertemuan bagi apologet Kristen untuk mewartakan Injil. Karena Allah Yunani tidak berubah dan termasuk dunia keberadaan, ia tidak mungkin mempunyai hubungan langsung dengan dunia ini.
Nama yang sering di pakai oleh orang Yunani untuk kuasa atau prinsip perantara ini adalah Logos, yang berarti akal atau Firman. Konsep Allah yang sejati dengan perantara-Nya jelas ada persamaan dengan Yohanes 1:1.
Tentu hal ini menjadi titik temu antara konsep Allah orang Yunani dengan apologetika Kristen. Meskipun demikian, hal ini juga masih mengalami kesulitan. Karena Firman Yunani ini terlepas dari Allah dan lebih rendah dari-Nya.
Tentulah hal ini menimbulkan banyak persoalan, khususnya penyangkalan doktrin Kristen mengenai Firman yang menjadi manusia. Secara sederhana dapat diartikan bahwa “Yesus bukan Tuhan.”
Hal inilah yang menjadi persoalan Kristen pada abad ke-4, bahkan banyak muncul ajaran-ajaran yang menyatakan dan menolak mengenai ke-Allahan dari Yesus Kristus.
Orang Yunani cenderung memandang dunia “materil” (kebendaan) itu hina, karena bersifat materi dan berubah.
Konsep seperti kebangkitan daging juga sangat bertentangan dengan pemikiran Yunani, seperti yang di alami Paulus pada waktu di Athena (Kis. 17:32).
Filsafat Yunani mengenai manusia
Menurut para filsafat Yunani, manusia pada hakikatnya terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh itu milik dunia menjadi dan berubah, sedangkan jiwa adalah “bunga api ilahi” dari dunia berada, dan dia adalah akal.
Hal ini sama dengan Firman ilahi atau Logos mendiami dan mengendalikan alam semesta, begitu juga tubuh didiami dan dikendalikan oleh logos miniatur (firman atau akal), yaitu jiwa.
Jiwa ini adalah manusia yang sesungguhnya. Tubuh ibarat sepasang pakaian atau rumah yang didiami seseorang. Pada hakikatnya, tubuh itu sering dilihat sebagai kuburan atau penjara bagi jiwa.
Nasib manusia adalah pendewaan, menjadi ilah, menjadi seperti Allah. Ini meliputi juga menjadi tanpa perasaan atau emosi sama sekali.
Pemikiran filsafat Yunani ini ada yang mendekati atau mirip dengan beberapa pandangan kekristenan, namun tetaplah keduanya berbeda.
Orang Yunani akhirnya dapat menerima monoteisme, namun gambaran mereka mengenai Allah yang tak berubah dan tak berperasaan sangatlah bertentangan dengan Alkitab.
Para filsuf dan para pemikir Yunani memang berbicara tentang Firman atau Logos sebagai pengantara, tetapi konsep mereka tidaklah sama dengan penjelasan Alkitab mengenai Kristus.